Pagi
itu di musim gugur, alam terlihat cantik, didominasi oleh warna
coklat, oranye, kuning dan kemerah-merahan.
Dengan
tergesa-gesa, saya berlari ke arah kereta api yang akan berangkat ke
Frankfuert. Nafas saya tersengal-sengal ketika memasuki kereta,
dengan cepat saya mencari tempat duduk yang masih kosong dan yang
cukup strategis, dalam arti yang dekat jendela dan menghadap ke depan
(ke arah) jalannya kereta api agar tidak pusing dan mual.
Akhirnya,
saya dapat tempat yang strategis dengan posisi kursi saling
berhadapan (untuk empat penumpang). Saya duduk sendiri karena
ternyata kereta api belum penuh penumpang, bisa jadi akan terisi pada
stasiun berikutnya.
Perjalanan
saya ke Frankfuert untuk memperpanjang paspor yang tiga bulan lagi
akan habis masa berlakunya. Perjalanan tersebut memakan waktu satu
jam dengan jarak tempuh dari desa saya sekitar 80 km.
Sampai
di Stasiun Kereta Api Frankfuert, masih harus berjalan kaki sekitar tujuh
menit untuk mencapai Konsulat. Proses memperpanjang paspor pun
berjalan dengan lancar seperti yang saya harapkan.
Saya
melirik jam tangan tua yang melingkar di pergelangan tangan kiri
sudah menunjuk ke pukul 11.30. Pantas saja perut ini mulai berbisik
“lapar”.
Setiap
saat berkesempatan mengunjungi kota besar seperti kota Frankfuert,
saya siapkan waktu luang sepanjang hari untuk melihat kota dan
jalan-jalan di pusat pertokoan. Langkah kaki pun sependapat untuk
menuju pusat kota.
Suasana
kota sangat ramai, bisa jadi dikarenakan jam makan siang. Frankfuert
dikenal juga sebagai kota perbankan, terlihat lalu-lalang para
pegawai bank dengan berpakaian “chic” menambah kesan kota
tersebut “chic dan elegant”.
Sambil
melihat toko-toko yang memajangkan dagangan mereka, saya mencari
kalau-kalau ada cafe atau restaurant yang letaknya strategis dan
murah. Restaurant yang saya inginkan tersebut akhirnya saya temukan
di pusat perbelanjaan MyZeil, lantai atas. Panganan yang ditawarkan
adalah panganan Asia ... hm ... pilihan yang tepat !.
Restaurant
terlihat penuh dengan beberapa pengunjung yang masih antri menunggu
tempat. Dengan memberanikan diri, saya bertanya kepada salah satu
pelayan yang terlihat sibuk bahwa saya hanya membutuhkan satu tempat
saja.
“Anda
beruntung !, masih ada satu tempat kosong disana !” sambil menunjuk
tempat kosong di depan seorang wanita muda.
“Terima
kasih !” langkah saya pun bergegas ke tempat yang ditunjuk oleh si
pelayan.
“Selamat
siang !”
“Selamat
siang !” jawab wanita muda dengan ramah.
Lima
menit kemudian datanglah si pelayan dengan membawa pesanan dari si
wanita muda tersebut. Semangkok sup panas dan dua tusuk sate sangat
mengundang selera. Hm ... jadi ingin memesan makanan yang sama dengan
wanita tersebut.
“Mau
pesan minuman dan makanan apa, nyonya ?”
“Oh
... kalau boleh saya tahu, apa nama sup yang dipesan oleh nyonya itu
?” sambil menunjuk sup yang dimaksud.
“No.
30” jawab si pelayan sambil tersenyum.
“Ok
... saya mau pesan sup yang sama, sepoci teh hitam dan salad”
sambil menyerahkan kartu menu kepada si pelayan.
“Terima
kasih” jawabnya.
“Selamat
makan”
“Terima
kasih” jawab wanita tersebut.
Sesekali
saya memandang wanita cantik di depan saya yang parasnya mirip dengan
penyanyi terkenal asal Inggris. Berpakaian sangat sederhana, tanpa
make-up, bertopi rajutan. Ah ... seandainya si Katie Melua duduk
disebelahnya, pasti terlihat seperti kembar.
“Maaf,
anda turis ?” tanya wanita tersebut.
“Ya,
untuk kota Frankfuert”
“Maksudnya
?”
“Saya
tinggal di Jerman, kira-kira 80 km dari kota Frankfuert, jadi boleh
dibilang kalau saya juga turis di kota ini” jelas saya sambil
bercanda.
“Ha
ha ... mengerti, saya juga turis transit, besok harus melanjutkan
perjalanan ke Itali” jelasnya.
“Oh
... pasti menyenangkan ya ?”
“Ya
ya ... senang tetapi cukup melelahkan juga”
Sambil
menyantap makanan masing-masing, kami bercerita tentang banyak hal.
Suasana akrab sangat terasa, seolah-olah kami sudah lama saling
mengenal.
“Panggil
saya Evan !”
“Indri”
balas saya.
Pendek
cerita, Evan dan saya sepakat untuk melihat-lihat kota Frankfuert
bersama sampai jam 18:00 karena pada jam tersebut saya harus sudah
berada kembali di Stasiun Kereta Api.
Kami
mengunjungi Palmengarten yang lengkap dengan koleksi botaniknya,
minum kopi di Cafe yang ada di taman tersebut sambil menikmati
sisa-sisa sinar matahari yang memantul indah pada dedaunan yang
menguning bagai logam emas yang gemerlapan.
“Indri,
kamu orang Indonesia pertama yang saya kenal”
“Apakah
semua orang Indonesia ramah-ramah ?”
“Dari
cerita kamu tentang kultur dan keindahan alam Indonesia, saya ingin
sekali mengunjungi negerimu !” kata Evan dengan nada dan mimik muka
penasaran.
“Tentu,
beritahu saya kalau kamu memutuskan ingin ke Indonesia, mungkin saya
bisa menemanimu”
“Saya
akan kirim email” Evan mengeluarkan secarik kertas dari dalam
tasnya. Kami pun saling bertukar email.
Waktu
berlalu dengan cepatnya, kami pun harus berpisah sambil mengucapkan
yang terbaik.
“Terima
kasih Indri, saya senang bisa berkenalan dengan kamu.”
“Saya
juga, selamat melanjutkan perjalanan ya Evan.”
“Take
care and God bless you” kata Evan sambil memeluk saya.
“God
bless you too, Evan !”
**
Keesokan
harinya, saya terima email dari Evan yang memberitakan bahwa dia
sudah sampai di Itali dan juga berterima kasih kembali untuk waktu
yang kami luangkan bersama di kota Frankfuert.
Setelah
email tersebut, dua bulan kemudian saya menerima surat dengan
perangko Inggris tanpa nama pengirim.
Dengan
tak sabar dan penasaran, cepat-cepat saya membuka surat tersebut.
“Oh
my God ! ... ternyata isinya undangan Konser Musim Panas dari Katie
Melua di Jerman.
“Dear
Indri, saya berharap kamu bisa datang di salah satu konser saya
...
Best
regards, Evan (Ketevan “Katie” Melua) ...”
Yihaaaaaa
! ternyata dugaan saya benar bahwa Evan yang mirip Katie itu memang
benar-benar Katie Melua, penyanyi pujaan saya.
...
“Saya
pasti datang ! ... terima kasih Katie !.”
***
Cerita mini diatas hanya 'Fiksi', ditulis oleh Indriati See dan dimuat di Kompasiana pada tanggal 14 April 2013 dalam Event Fan Fict
Image: 1